Tompi, sang sutradara pendatang baru ini kembali lagi dengan drama komedi roman keluarganya melalui Selesai. Film kedua yang juga digarapnya bersama Imam Darto sebagai penulis, setelah Pretty Boys sebagai proyek perdana mereka kala itu. Film produksi Beyoutiful Pictures yang mulai tayang via Bioskop Online pada 13 Agustus ini diperankan oleh Ariel Tatum, Gading Marten, Anya Geraldine, Farish Nahdi, dan Marini. Apa lagi kejutan yang kali ini telah disiapkan oleh duet Tompi dan penulisnya dalam film kedua mereka?
Broto (Gading Marten) dan Ayu (Ariel Tatum) ialah sepasang suami-istri yang kurang harmonis. Meski tampaknya mereka dapat berkomunikasi dengan tenang, berbalut senyuman, dan saling pengertian, tetapi keduanya sama-sama menyimpan sesuatu. Konflik mereka kian memanas ketika nama Anya (Anya Geraldine) mulai sering disebut di dalam rumah. Belum lagi dengan kedatangan Ibu Broto (Marini) dan masuknya nama Dimas (Farish Nahdi) dalam topik pembicaraan mereka semua. Broto dan Ayu sama-sama bertemu ujung keharmonisan mereka, dan salah satu dari keduanya lah yang menanam akar masalahnya.
Tompi bukanlah sosok yang baru saja muncul sebagai sutradara pendatang. Sebelum Selesai, dia sudah mengarahkan Pretty Boys yang bergenre drama komedi tentang persahabatan dan karir dibalut roman. Meski memang Selesai barulah film keduanya, tetapi kreativitas seorang Tompi berada pada ruang yang berbeda. Dia memiliki karakteristik visual tersendiri dengan bentuk-bentuk shot, framing, dan terutama tonalitasnya. Warna-warna dalam film garapan Tompi kembali mencuri perhatian melalui Selesai, setelah apa yang dilakukannya terhadap Pretty Boys. Warna-warna yang juga menempati perannya dalam mendukung mood adegan dan kepribadian tokoh yang terlibat, melalui kostum dan setting.
Naskahnya pun terbilang berani, paling tidak bila diperbandingkan dengan film-film genre sejenis. Misalnya duet Tompi dengan sang penulis yang menyajikan alternatif ending cerita yang berhubungan dengan psikologis. Tak jarang pula beberapa dialognya menunjukkan varietas diksi yang berwarna. Terlepas dari sisi vulgar yang mendapat pengaruh besar dari karakteristik penulisnya sendiri tentunya. Juga, walaupun topik-topik seputar seks yang mengisi banyak adegan Selesai bukanlah baru kali ini dijumpai dalam film Indonesia.
Kendati beberapa aspeknya cukup sering mencuri perhatian, namun tampak ada kejanggalan dalam beberapa situasi. Contohnya, logika ukuran rumah dan jarak antar-ruangan yang tampak dapat digunakan untuk meredam suara para penghuninya. Namun, dalam situasi yang lain setiap penghuni rumah bisa mendengar suara satu sama lain di ruangan yang berbeda. Padahal, kedua kondisi ini memperlihatkan tokoh-tokoh yang saling berteriak –atau setidaknya dengan suara yang terbilang cukup keras.
Meski logika ukuran rumah tersebut agak sukar dinalar, tetapi sineas Selesai melakukan upaya terbaiknya dalam memaksimal penggunaan setting-nya yang terbatas. Hanya ada rumah Broto, apartemen Anya, dan rumah Ibu Broto yang lebih sering muncul. Tentunya jelas sekali keterbatasan setting yang hanya melibatkan tiga tempat ini merupakan dampak dari kondisi terkini (pandemi). Walau begitu, Selesai mengajak penontonnya berkeliling rumah dalam setiap pergantian adegannya. Satu contoh film barat yang baru-baru ini melakukan eksplorasi ruangan dalam satu apartemen dengan sangat baik ialah The Father.
Dari segi akting, Gading memiliki caranya sendiri dalam menunjukkan totalitasnya. Meski namanya tidaklah sepopuler Reza, Dolken, ataupun Iqbaal dalam dunia seni peran, namun penampilannya jarang mengecewakan. Terkhusus saat dia mendapat peran-peran seorang lelaki yang haus akan kepuasan cinta lewat seks, atau romantika asmara hubungan sepasang kekasih.
Sayangnya, semangat totalitas sinematik yang telah dibangun pada segmen-segmen awal kian terasa menurun hingga filmnya usai. Meski tidak sepenuhnya sirna dan berubah menjadi biasa saja, namun (misalnya) tonalitas gambar, akting, dan warna pada setting-nya tak sekuat sebelumnya. Setali tiga uang dengan itu, naratifnya pun jadi “nyaris” hambar pada menit-menit yang sama. Memang benar terdapat elemen yang ditujukan untuk memberi kejutan, tetapi efeknya lemah. Bahkan ending untuk plot sampingannya dapat dengan mudah terbaca akan mengarah ke mana, sejak menit-menit menjelang plot utamanya berakhir.
Kendati beberapa kali menunjukkan celah, Selesai masih nyaman ditonton dengan unsur sinematik yang paling banyak mencuri perhatian, di samping naratifnya yang patut disayangkan. Sudah cukup baik di awal-awal, namun lambat-laun rupanya mulai kedodoran. Keistimewaan Selesai sebetulnya terletak pada bagaimana cara Tompi dalam mengolah sinematik jadi unsur yang unggul, namun “sebisa mungkin” tanpa menanggalkan naratifnya jauh di belakang. Tak banyak pula sutradara yang jarang terlihat, namun dapat membawa karya yang lumayan bagus pada setiap kemunculannya. Utamanya para pendatang baru. Terlebih dalam kasus Selesai, Tompi sendiri berangkat dari latar belakang musik dan kedokteran. Hal yang sama terjadi pula pada Pretty Boys dua tahun lalu.